SUSU COKLAT YANG MENYEBALKAN (Cerita Jaman Sekolah Dasar)
Setiap selesai upacara hari senin,
satu kotak susu coklat, sebut saja susu indonesia sehat (susu formula bantuan
Amerika untuk Indonesia, tepatnya aku masih duduk di kelas 6 SD tahun 1999)
telah siap di atas meja kami. Seperti biasa sebelum pelajaran dimulai aku
berlari keluar kelas dengan kotak susu di tanganku, salah satu teman
mengikutiku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya, tertawa licik, ia pun
demikian. Kami berkonspirasi, ah tidak, tepatnya aku merencanakan sesuatu dan temanku
setuju. Dan konspirasi ini telah terjadi beberapa kali, berhasil.
Pakguruku (pak Dipo namanya) berteriak-teriak di belakang kami, “Mau kemana? Membuang
bungkus susu pak, jangan lari-larian!”. “ya.....pak”, jawabku tanpa
menoleh. pakguruku lagi-lagi percaya (Benarkah?).
Sampai di depan kelas, aku
berhenti. Menoleh pada temanku yang telah berada di sampingku, tersenyum licik,
temanku pun demikian. Aku melangkahkan kaki, mendekati salah satu tanaman,
pohon jati. Dengan anggun, kuangkat kotak susuku dan menuangkannya ke pohon
jati yang terletak dedepan sekolahan. Cairan coklat itu mengalir meresap ke
dalam tanah, cepat. Tak berapa lama kemudian, cairan coklat yang kedua
mengalir, meresap ke dalam tanah, tak secepat yang pertama. Cairan coklat kedua
itu dari kotak susu milik temanku. Kami berdua saling pandang, tersenyum puas.
Konspirasi selesai. Sejauh ini berjalan dengan lancar.
Kami masuk ke dalam kelas,
memperlihatkan muka kenyang (seolah-olah kami telah meminum habis susu
tersebut) sambil tersenyum bangga, dan berkata,“sudah aku minum dan bungkusnya
sudah aku buang Pak”. “Pinter”, ucap pakguru sambil mengelus rambut kami, tatapi
tiba-tiba saja pakguru mengajak teman-teman satu kelas untuk membersihkan
halaman. Astaga (pikirku membatin), karena melihat pakguru menuju pohon jati
yang baru bersendawa karena habis minum susu itu.
Jejak-jejak cairan coklat itu masih
membekas, terlihat jelas. Kami ketahuan. Konspirasi gagal.
Pakguru menggeleng-geleng kepala,
lalu berjongkok menatap kami berdua, bergantian, berkata, “Kalian yang minum
atau pohon jati ini yang minum susunya?”
Kami diam. Sudah jelas. Pohon itu
yang meminum susunya, kenapa Pakguru masih bertanya juga (pikirku membatin).
Pakguru melanjutkan, “Wah… wah…
begitu ya ternyata caranya. Kalau begini, pohon jati ini yang sehat. Lain kali
minumnya harus di depan Pakguru”.
Kami diam. Mendengarkan
(benarkah?).
Pakguru mendesah pelan,
melanjutkan, “Susu itu tidak boleh di buang-buang. Ini bagus untuk kalian biar
sehat dan cerdas. Jadi lain kali tidak boleh begini lagi, mengerti?”. Pakguru menasehati.
Kami berdua mengangguk pasrah, tak
berani membantah karena telah berbuat salah.
Tapi akhirnya mulutku berucap juga,
“Habis rasanya gak enak pak, kayak mau muntah”. temanku menggangguk setuju.
“Kalau biasa minum nanti jadi gak
terasa kayak muntah lagi. Makanya susunya harus diminum, biar terbiasa sama
rasanya”. Akupun masih punya ego. Kalau tak enak, ya tetap tak enak (aku
membantin sekali lagi).
Tetapi selanjutnya mau gimana lagi
konspirasi sudah terlanjur ketahuan, enak gak enak tetap harus aku minum.
(Akan
aku kenang dan aku ajarkan selalu nasehatmu pak, aku ucapkan banyak terima kasih
dan ma’af dalam jangkauan batas yang tak mampu aku lewati)
Comments